Kamis, 14 Juni 2012

indikasi belum diterapi dan gagal menerima obat


1.            DESKRIPSI KASUS
Seorang pasien datng ke Apotek untuk memeriksaan tekanan darahnya atas saran dari tetangganya, dan hasil pengukuran darah adalah 140/95 mmHg. Seminggu yang lalu pasien datang k Puskesmas dan mengeluhkan pusing berat otot pundak terasa tegang dan menggigil. Kemudian pasien mendaatkan terapi Sumagesic 4x sehari dan Diazepam 2mg 2x sehari. Namun sampi saat pasien memeriksakan tekanan darahnya pasien masih sering mengeluhkan pusing khususnya kepala belakang tetai tidak seberat sebelumnya.


2.            ANALISA KASUS
Bapak A ini mengalami gatal-gatal yang belum diketahui penyebabnya, dimungkinkan gatal-gatal ini karena adanya penyakit kulit yang disebabkan karena biang keringat, adanya infeksi jamur atau mikroba,  atau bisa juga karena alergi. Maka dari itu sebelum dilakukan pengobatan/terapi untuk mengurangi/mengobati rasa gatal tersebut, sebaiknya perlu ditanyakan terlebih dahulu kepada pasien apakah pasien tersebut memiliki riwayat alergi atau tidak. Jika pasien tidak memiliki riwayat alergi maka sebaiknya diberikan antiseptik ekstern (bedak salicyl, herocyn, caladine lotion, dsb).
Jika ternyata pasien memang memiliki riwayat alergi maka  pemakaian obat CTM sebagai obat untuk mengurangi rasa gatal sudah tepat karena CTM termasuk dalam obat anti histamin. Namun, karena bapak A ini berprofesi sebagai sopir angkot, maka perlu dipertimbangkan kembali pemakaian CTM. Hal ini disebabkan, mengingat efek samping CTM yaitu sedasi (menyebabkan rasa kantuk). Maka, hal ini dapat mengganggu profesi beliau sebagai sopir angkot dan dapat membahayakan diri Bapak A dan orang lain. Oleh sebab itu, perlu adanya terapi obat lain dengan indikasi yang sama, tapi efek samping lebih ringan.
Alternatif antihistamin yang dapat digunakan adalah loratadin, dimana loratadine merupakan antihistamin generasi II yang memiliki efek nonsedative (tidak menyebabkan mengantuk) dan efek sampingnya relatif lebih kecil.
Dapat disimpulkan bahwa bila bapak A mengalami gatal-gatal yang disebabkan bukan karena alergi melainkan ada penyebab lain (biang keringat, infeksi jamur/mikroba, dsb) maka penggunaan CTM untuk menghilangkan rasa gatal tersebut termasuk ke dalam DRP’s jenis terapi obat salah. Namun bila ternyata penyebab gatal adalah karena alergi maka penggunaan CTM bukan termasuk kedalam terapi obat salah.
Sedangkan tekanan darah Bapak A sebesar 165/105 mmHg ( tekanan sistole 165 mmHg, tekanan diastole 105 mmHg), menurut JNC VII tekanan darah untuk bapak A terklasifikasikan dalam  hipertensi tingkat II, dalam kasus ini untuk terapi digunakan obat antihipertensi yang berupa captopril 12,5 mg yang diambil dari kotak obat, karena si bapak A malas berobat dan bapak A juga mengikuti istrinya yang cocok minum captopril. Sedangkan efek samping dari captopril ini adalah batuk kering hal ini termasuk dalam DPR yaitu reaksi obat yang merugikan. Selain itu, bapak A juga memiliki riwayat asma, dimana penggunan obat ACE-bloker tidak dianjurkan karena efek sampingnya dapat menyebabkan edema angioneurotik, yaitu pada pasien terjadi pembengkakan pada hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping ini terjadi beberapa jam setehah pemberian ACE-inhibitor (ACE-bloker), sehingga pada pasien dengan riwayat asma akan semakin susah bernafas (mengalami sesak napas).
Oleh karena itu, untuk terapi ini diganti obat hipertensi yang bersifat antagonis kalsium. Katopril diganti dengan amlodipin dengan pertimbangan obat antagonis kalsium. Namun idealnya untuk hipertensi tingkat Iipengobatan dilakukan dengan kombinasi, namun menurut kelompok kami digunakan terapi bertahap hal ini dikarenakan agar tidak terjadi hipotensi. Obat antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan mekanisme yang benar-benar berbeda yaitu dengan menghambat masuknya ion kalsium melewati slow channel yang terdapat pada membran sel (sarkolema).


3.            EVALUASI OBAT TERPILIH
1.      Bedak salisilat
Mekanisme kerja : Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel dermis. Setelah pemakaian beberapa hari akam menimbulkan lapisan-lapisan kulit baru(keratolitikum).
Dosis dan penggunaan : Taburkan setelah habis mandi atau bila berkeringat.
Efek samping : iritasi ringan
Contoh produk :
·         Caladine ( yupharin)  harga Rp. 5200 / 100 gram powder
·         Verina ( Graha Farma) harga Rp. 5900 / 100 gram powder
·         Bedak Salisilat Cap Gajah (Usaha Sekawan Farmasi Indonesia) harga Rp. 3000 / 100 gram powder (Anonim c, 2010).
2.      Loratadine (bila ternyata pasien memiliki riwayat alergi dan penggunaan bedak salicyl tidak mengurangi/menghilangkan rasa gatal)
Loratadin   adalah  trisiklik  piperidin  long acting  yang mempunyai   aktivitas yang selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya .
Mekanisme kerja : loratadine merupakan derivat klor dari azatadin tanpa efek sedative maupun antikolinergis pada dosis biasa. Plasma t ½ nya lebih panjang 12 jam, sedangkan metabolit aktifnya 12 jam. Digunakan pada rhinitis dan konjungtivitis alergis juga pada urtikaria kronis .
Dosis dan aturan pakai : 1 x sehari 10 mg.
Efek samping : insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala.
Contoh produk :    Clatatin (molex ayus) : Rp. 33.000 (box 100 tablet), Rp. 330/tablet.
Hislorex (konimex) : Rp. 39.600 (box 5 x 4  tablet), Rp. 1980/tablet (Anonim c, 2010).
3.      Amlodipin
Mekanisme kerja : Amlodipine merupakan antagonis kalsium yang menghambat masuknya ion kalsium transmembran ke dalam jantung dan otot polos muskular. Mekanisme antihipertensi amlodipine karena efek relaksasi langsung pada otot polos vaskular. Karena onset amlodipine sangat lambat, hipotensi akut bukan merupakan keistimewaan amlodipine. Amlodipine tidak berhubungan dengan efek samping metabolik atau perubahan lipid dalam plasma dan sesuai untuk digunakan pada pasien asma, diabetes, goutt.
Dosis dan Aturan pakai :
Anak-anak : Hipertensi : 2.5-5 mg sekali sehari.
Dewasa : Hipertensi : dosis awal 5 mg sekali sehari, dosis maksimum 10 mg sekali sehari. Pada umumnya dilakukan titrasi dosis dengan kenaikan 2,5 mg selama 7-14 hari. Angina : dosis pemeliharaan 5-10 mg, gunakan dosis yang lebih rendah pada pasien lanjut usia dan pasien dengan gangguan hati, umumnya diperlukan dosis 10 mg untuk mencapai efek yang mencukupi. Pasien usia lanjut : digunakan dosis yang rendah untuk mencegah  terjadinya insiden kerusakan hati, ginjal atau jantung. Pasien usia lanjut juga mempunyai klirens amlodipin yang rendah. Hipertensi : 2.5 mg sekali sehari. Angina : 5 mg sekali sehari. Dialisis : hemodialisis dan peritoneal dialysis tidak merubah eliminasi. Tambahan dosis tidak diperlukan. Penyesuaian dosis pada gangguan fungsi hati : berikan 5 mg sekali sehari. Hipertensi : 2.5 mg sekali sehari.
Efek samping : Efek pada kardiovaskuler : edema perifer (2-5% tergantung dosis).
Kardiovaskuler : flushing (1-3%), palpitasi (1-4%); SSP: sakit kepala (7,3%), pusing (1-3%)fatigue (4%), palpitasi (1-4%); Dermatologi : rash (1-2%), pruritus (1-2%);
Endokrin dan metabolisme : disfungsi seksual pada pria (1-2%); Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%), hiperplasia gingival ;
Gastrointestinal : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%), hiperplasia gingival ;
Neuromuskular dan skeletal : kram otot (1-2%), lemah (1-2%); pernapasan : dyspnea (1-2%), edema pulmonary (15%) , gangguan tidur, agitasi alopesia, amnesia, ansietas, apathy, aritmia, ataksia, bradikardi, gagal jantung, depersonalisasi, depresi, eritema multiforma,dermatitis eksfoliatif, symptom ekstrapiramidal, gastritis,ginekomastia, hipotensi, leukositoclastik vaskulitis, migrain, purpura non trombositopenik , parasthesia,iskemik periferal, fotosensitivitas, hipotensi postural, purpura, rash, perubahan warna kulit, sindrom Stevens-Johnson, sinkope, trombositopenia, tinnitus, urtikaria, vertigo, xerophtalmia.
Contoh produk :    Actapin ( Actavis) harga Rp.3500 / tablet 5 mg
      Amlodipine ( Hexpharm) harga Rp. 2200 / tablet 5 mg
Normoten ( soho) harga Rp. 3500 / tablet 5 mg.(Anonim c, 2010).


IV.             MONITORING
Tujuan monitoring pada terapi pengobatan ini tidak lain yaitu untuk memaksimalkan efek terapi serta meminimalkan efek samping obat.
Adapun untuk hipertensi yang dialami oleh bapak A ini diperlukan pemantauan secara berkala terhadap tekanan darahnya untuk mengetahui apakah terapi obat yang diberikan sudah memberikan respon atau belum, kemudian apakah obat yang digunakan memberikan efek samping seperti pada pemakaian obat awal atau tidak, apakah obat antihipertensi yang digunakan berpengaruh pada riwayat penyakit asma yang diderita pasien atau tidak.
Selain itu untuk alerginya yang perlu dipantau ialah apakah pasien masih merasa gatal-gatal atau tidak dan mengenai sensitivitas pasien terhadap obat yang diberikan tersebut apakah menimbulkan reaksi alergi yang lain atau tidak. Sebenarnya pengobatan yang telah diberikan ini akan menjadi lebih optimal bila didukung dengan gaya hidup sehat yaitu selalu menjaga kebersihan badan bila alergi yang ditimbulkan yaitu seperti gatal-gatal itu dari faktor luar misalnya saja karena pengaruh udara yang kotor di lingkungan sekitarnya. Terapi farmakologi dan non farmakologi ini akan memberi efek lebih optimal dengan adanya faktor kepatuhan dari pasien dalam menjalankan terapi oleh karenanya diharapkan pasien memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi obat yang diberikan ,hal ini tentu saja juga memerlukan perhatian dari keluarga pasien yang setiap saat dapat memantau perkembangan terapi pada pasien.
Untuk mengukur efektivitas  terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
a.       tekanan darah
b.      kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak 
c.       interaksi obat dan efek samping 
d.      kepatuhan (adherence)

a.       Monitoring  tekanan darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk pengobatan   hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2 sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi. 
Pada  kebanyakan  pasien  target    tekanan  darah  <  140/90  mmHg, dan  pada pasien diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80 mmHg. 
b.      Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak 
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut.  Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing,  dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba berubah,  lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainnya yang harus di monitor  untuk menilai penyakit target organ termasuk  perubahan funduskopik, regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal.  Tes laboratorium harus diulangi setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil
c.       Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain.
Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada interaksi obat; misalnya apabila pasien mendapat diuretik tiazid  atau loop dan pasien juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan  kadar kalium diperiksa secara berkala.   
 Monitoring tambahan mungkin diperlukan untuk penyakit lain yang menyertai bila ada (misalnya diabetes, dislipidemia, dan gout).  
d.      Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang dinginkan. Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan yang di rekomendasikan.
Satu studi menyatakan kalau pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar kemungkinan terkena stroke.
Strategi  yang paling efektif adalah dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang mendukung.

V.             KOMUNIKASI, INFORMASI, EDUKASI
Informasi yang sebaiknya diberikan pada bapak A adalah antara lain bapak A disarankan untuk menggunakan bedak biang keringat , seperti bedak salicyl. Bedak salicyl yang dapat ditawarkan antara lain bedak salicyl cap gajah , caladine powder, serta bedak novarin. Pemakaian bedak ini dapat mengurangi rasa gatal pada kulit.
Namun bila setelah penggunaan bedak salicyl rasa gatal tidak kunjung sembuh maka dapat direkomendasikan kepada pasien untuk mengkonsumsi loratadine karena dimungkinkan penyebab gatal adalah karena alergi. Loratadine ini digunakan bersama-sama dengan bedak salicyl agar efek terapinya bisa maksimal. amlodipin. Diinformasikan pula, bahwa loratadine disini berfungsi untuk mengurangi gatal-gatal yang dialaminya,yang diduga dikarenakan alergi. Aturan pemakaiannya adalah diminum satu kali sehari 10 mg.
Diinfokan pula pada pasien bahwa efek samping dari pemakaian loratadine adalah  insomnia dan mulut kering, lelah, pusing, sakit kepala. Namun,efek samping ini jarang terjadi , tergantung dari keadaan tubuh  masing-masing individu. Untuk mengatasi efek samping mulut kering , maka pasien bisa memperbanyak dengan minum air putih. Selain itu, diberikan informasi pula bahwa bapak A disarankan untuk lebih menjaga kesehatan dan kebersihan kulitnya. Karena , mungkin saja gatal-gatal yang dialaminya disebabkan karena kulitnya yang sering berkeringat  dan menyebabkan biang keringat dan menimbulkan gatal-gatal.
Konsumsi loratadine dapat diminum sebelum makan karena tidak mengiritasi lambung. Pemakaian loratadine dapat dihentikan , apabila gatal-gatal yang dialaminya sudah tidak timbul lagi. Ditawarkan pada pasien obat-obat paten dari loratadine antara lain, Clatatin (molex ayus)  Rp. 330/tablet, Hislorex (konimex)  Rp. 1980/tablet dan disarankan pada pasien agar membeli clatatin yang harganya paling murah dari obat paten yang lain.
            Untuk hipertensi yang dialaminya, kita dapat menawarkan obat  golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin. Amlodipin diminum 1x sehari 5 mg, sekali minum maksimal 1 tablet yang berisi 10 mg amlodipin. Diinfokan juga pada pasien bahwa amlodipin dalam sediaan ada 3 dosis yaitu 10 mg,5 mg,2.5 mg serta disarankan pada pasien untuk mengkonsumsi tablet yang 5 mg karena harganya lebih hemat , dan apabila belum ada penurunan tekanan darah maka pemakaian dapat ditingkatkan. Efek samping dari amlodipin ini tidak menyebabkan batuk kering  seperti pada captopril sehingga lebih aman unutk penderita penyakit asma seperti Bapak A.  
Disamping pemberian terapi farmakologi , disampaikan juga mengenai terapi  non farmakologi untuk menunjang pengobatan farmakologi. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi konsumsi garam ataupun makanan yang mengandung garam , kopi , makanan berlemak atau yang mengandung kolesterol tinggi, serta melukan olahraga secara teratur , istirahat cukup, serta menjaga pikiran agar tidak mudah stress. Dan disarankan pula pada Bapak A agar rutin mengecek tekanan darahnya sewaktu masa mengkonsumsi obat ini , hal ini dilakuakn untuk memonitoring, apakah tekanan darahnya sudah turun atau belum dan mengantisipasi terjadinya shock yang merupakan akibat dari turunnya tekanan darah secara drastis.
Edukasi ke Pasien
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan hipertensi:
         Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan
         Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri           
         Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
         Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
         Pentingnya kontrol teratur
         Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan menyembuhkannya
         Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan
         Efek samping obat dan penanganannya
         Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan tekanan darah
         Pentingnya peran terapi nonfarmakologi
         Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang mengandung ginseng,  nasal decongestan, dll).
a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar